Jendela Cerita Mama Arga

Di balik jendela, banyak cerita tumbuh dan bermakna

  • Sebagai orangtua, kita sering banget terjebak dalam perbandingan. Apalagi sekarang, milestone anak bisa muncul di mana-mana—dari obrolan grup WhatsApp sampai postingan Instagram. Rasanya jadi insecure sendiri, apalagi kalau anak kita belum mencapai hal yang “seharusnya” udah bisa. Sering banget jadi ketrigger karena lihat postingan orang lain yang anaknya seumuran apalagi di bawah Arga dan udah bisa hal-hal yang Arga belum bisa.

    Tapi makin ke sini, aku belajar satu hal: semua anak punya waktunya masing-masing. Dan itu nggak apa-apa.

    Dulu Arga sempat agak telat ngomong. Nggak sampai speech delay sih, cuma belum sesuai milestone usianya aja. Tapi begitu mulai ngomong, langsung lancar dan jadi cerewet banget. Kata-kata yang dia tau juga banyak banget. Ternyata dia cuma butuh waktu.

    Toilet training? Hmm jatuh bangun. Aku baru mulai saat Arga umur tiga tahunan, dan ternyata prosesnya ngga bisa instan. Tapi pelan-pelan, tanpa aku sadari, tiba-tiba dia udah berhenti ngompol.

    Makan sendiri juga begitu. Sampai sekarang masih suka disuapin, sementara anak-anak lain udah bisa makan sendiri dari usia dua tahun. Awalnya aku sempat khawatir gimana kalo dia di sekolah, tapi ternyata dia bisa. Bahkan karena juara makannya jadi dapat reward sticker dari gurunya.

    Dari semua itu, aku belajar: semua ini adalah proses dan semua ini cuma soal waktu. Bukan kita yang menentukan kapan anak harus bisa ini-itu, tapi mereka tau kapan mereka siap. Tugas kita bukan untuk memaksa dan memburu-buru anak, tapi membersamai, mendampingi, dan percaya bahwa mereka akan sampai juga pada waktunya.

    Anak bukanlah proyek cepat-cepatan lulus milestone. Mereka adalah manusia kecil dengan ritmenya sendiri, dan itu fine-fine aja.

    Jadi buat orangtua yang mungkin sedang merasa tertinggal: tarik napas sebentar yuk. Kamu dan anakmu sedang berjalan di jalur kalian sendiri. Dan itu cukup. Pastikan mereka merasa aman dan didukung, sampai akhirnya mereka bisa bilang, “Aku siap.”

  • My not so baby anymore, tiba-tiba udah jadi anak Primary School

    Tanggal 11 November 2025 jadi hari bersejarah dalam petualangan keluarga kecil kami, terutama buat Arga. It was his first day of school. His very first ever school experience. Yaa, sebelum pindah ke sini, Arga memang belum pernah sekolah formal. Di Indonesia, aku dan suami memutuskan untuk belum memasukkannya ke sekolah — keputusan yang sempat mengundang banyak pertanyaan karena teman-teman sepantaran Arga udah pada sekolah pre-school ataupun TK.

    Kami memang berencana Arga akan mulai sekolah di usia 5 tahun, yaitu masuk di tahun ajaran Juli 2025. Tapi karena awal tahun kemarin tiba-tiba muncul rencana baru kepindahan kami ke luar negeri, yang pada waktu itu masih belum tau ke mana, tapi menurut hitungan kami akan berangkat paling lambat bulan September. Jadi dengan pertimbangan itu, rencana menyekolahkan Arga ditunda dulu, karena rasanya akan terlalu melelahkan untuk anak seusianya harus berpindah sekolah dan memulai adaptasi lagi hanya dalam waktu yang singkat.

    Kembali ke hari pertamanya sekolah, happy, excited, penasaran, nervous, takut, deg-degan, campur aduk rasanya. Nggak cuma Arga yang ngerasain, tapi aku juga. Aku dan Arga yang biasa bersama 24/7 sekarang harus terpisah beberapa jam. Jam sekolah di sini dimulai pukul 08.40 dan berakhir pukul 15.15, dengan 2x break time. Pasti terasa cukup berat buat Arga memulai rutinitas yang baru.

    Untuk hari pertamanya Arga request mau diantar dan dijemput lengkap oleh mama dan ayahnya. Jarak sekolah Arga agak jauh dari rumah — 20 menit berjalan kaki dan jalannya agak menanjak. Sepanjang jalan Arga mengeluh takut sekolah, tapi kami terus kasih pengertian dan semangatin Arga. Sampai di sekolah, orang tua cuma boleh mengantar aja, ngga boleh menunggu di sekolah meskipun itu hari pertama anaknya sekolah.

    Arga satu-satunya anak Indonesia yang bersekolah di sana. Mikirin gimana Arga ngejalanin harinya di sekolah bikin aku mules. Gimana nggak? Ngebayangin dia ada di situasi yang bukan cuma baru, tapi benar-benar asing. Pasti dia belum ngerti orang ngomong apa, dan orang juga nggak ngerti kalo Arga ngomong. Aku pasrah kalo emang hari itu Arga nangis terus di sekolah.

    Hari itu aku bawain Arga bekal onigiri nasi abon dan telur puyuh, buat jaga-jaga kalo dia ngga mau makan menu dari sekolah. Maklum, Arga agak picky eater dengan lidah Indonesia banget yang biasa makan nasi. Sementara menu dari sekolah kalo ngga sandwich, pizza, pasta, roasted potato — bukan selera Arga banget.

    Menu MBG di sekolah Arga, enak-enak banget kan? Ini sih mamanya yang doyan banget

    Tiba saatnya jemput sekolah, aku udah siap kalo gurunya bilang ”he is crying all day”. Tapi ternyata pas keluar kelas, dia terlihat baik-baik saja, mukanya juga happy-happy aja. Malah jadi aku yang pengen menitikkan air mata — terharu ternyata Arga udah gede dan bisa mandiri.

    Hari pertama yang mulus, belum tentu hari-hari berikutnya berjalan tanpa drama. Ada kalanya setiap hari dia nangis dari malam mau tidur sampai saat berangkat ke sekolah, sampai aku nggak tega  ninggalin dia di sekolah. Tapi ada kalanya juga sepulang sekolah dia semangat cerita keseruan di sekolah tadi. Dan ada juga momen gurunya bilang ”He was doing great today’‘.

    Entah sampai kapan akan ada drama tangisan dan pelukam erat di pagi hari. Yang jelas aku bersyukur Arga sudah memulai perjalanannya. Proses ibi mungkin ngga mudah buat Arga, tapi aku selalu berusaha untuk memvalidasi setiap bentuk perasaannya, apapun itu. Dan aku akan terus ada di sampingnya sebagai tempat pulang yang selalu siap mendengar semua ceritanya sepulang sekolah.

  • Salah satu hal yang paling aku pikirin waktu mau pindah ke UK adalah: Arga nanti sekolah di mana, ya? Sama halnya dengan di Indonesia, sekolah di UK umumnya dibagi jadi 2 kategori: State school (sekolah negeri) dan Independent School (sekolah swasta). Jika menyekolahkan anak di sekolah negeri, tidak akan dipungut biaya sepeser pun alias GRATIS. Kebijakan ini berlaku bagi semua warga Inggris baik yang berstatus citizen maupun pendatang. Asyik kan?

    Tahun ajaran di sini dimulai pada awal September dan pendaftarannya sendiri sudah dimulai dari September tahun sebelumnya dan ditutup di bulan Januari. Tapi bukan berarti setelah itu tidak bisa mendaftar sekolah ya, kami sendiri baru mendaftarkan Arga sekolah di pertengahan September 2025 (seminggu sebelum keberangkatan kami ke UK) untuk tahun ajaran 2025/2026. Karena seperti halnya di Indonesia, pendaftaran sekolah di sini menggunakan sistem zonasi, sehingga kami harus mempunyai tempat tinggal dulu di UK baru bisa mendaftar sekolah anak sesuai dengan catchment area-nya.

    Uniknya, pendaftaran sekolah di sini juga berdasarkan usia anak, cut off-nya adalah per 31 Agustus. Anak usia 5 tahun sudah masuk ke jenjang Primary School alias SD. Karena Arga sudah 5 tahun per Juni 2025, maka kami mendaftarkannya ke Primary School Year 1. Ini juga sempat membuatku sedikit khawatir, karena di Indonesia kan usia anak dianggap matang dan siap untuk masuk SD di usia 7 tahun.

    Tapi untungnya tidak ada test untuk masuk primary school di sini, background sekolah sebelumnya pun tidak jadi patokan. Sekali lagi, karena patokannya usia, jadi misal anak usia 9 tahun di Indonesia kelas 3 atau 4 SD, pindah ke UK akan langsung masuk ke Year 5 Primary School

    Administrasi pendaftaran sekolah juga cukup mudah. Setelah kami memiliki tempat tinggal pasti di Sheffield, kami langsung mendaftar sekolah melalui website Sheffield City Council. City Council (Dewan Kota), atau kalau di Indonesia disebut Pemda, mengatur layanan publik termasuk pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan lain-lain. Kami cukup mengisi formulir dan melengkapi data-data yang diperlukan. Kami juga bisa memilih sampai 3 sekolah yang menjadi preferensi, meskipun belum tentu penempatannya nanti di antara 3 pilihan tersebut karena bergantung pada ada tidaknya kursi kosong di kelas yang dituju. Namun waktu itu kami hanya memasukkan 2 pilihan: sekolah pertama berjarak sangat dekat dengan rumah kami (5 menit berjalan kaki) dan sekolah kedua berjarak 1,2 km dari rumah.

    Kirain dengan daftar dari jauh hari, bahkan sebelum keberangkatan kami, semuanya bakal cepat. Ternyata prosesnya butuh waktu juga. Di akhir Oktober kami baru dapet kabar penempatannya, dikirim via email dan juga via surat fisik ke rumah. Arga diterima di sekolah pilihan kedua kami. Namun karena saat itu sedang masa libur sekolah term 1, jadi kami baru dikontak oleh pihak sekolah di awal November.

    Kami diundang pihak sekolah untuk datang dan ”berkenalan” dengan sekolah barunya Arga. Kami bertemu dengan teaching consultant untuk melakukan daftar ulang. Lagi-lagi proses administrasinya sangat simple, kami cuma melengkapi formulir yang berisi update data anak dan orangtua, dan dokumen yang perlu dibawa cuma paspor Arga aja (Beda ya sama di Indonesia yang perlu ada akte kelahiran dan KK?).

    Kami dijelaskan peraturan sekolah: seragam, jam masuk dan pulang, serta school meals alias MBG yang didapatkan free sampai dengan nanti di Year 2. Kami juga diajak berkeliling melihat ruang kelas Arga dan fasilitas sekolah lainnya. Kami juga berkenalan dengan teacher dan teaching assistant di Year 1. Kami juga menyampaikan kekhawatiran kami karena ini adalah sekolah pertamanya Arga, Arga yang cenderung pemalu, dan Arga yang belum bisa bahasa Inggris (baru mengenal beberapa kata basic). Tapi karena semuanya sangat welcome sekali, aku jadi merasa sedikit tenang. Dan kami boleh memilih kapan Arga akan memulai hari pertamanya sekolah kapanpun kami siap.

    Sekolahnya benar-benar gratis, tidak ada uang pangkal maupun SPP bulanan. Bahkan anak-anak tidak perlu membawa buku dan alat tulis apapun karena semua disediakan di sekolah. Satu-satunya pengeluaran kami untuk sekolah Arga adalah membeli seragam. Kami diinfokan website untuk melakukan pemesanan seragam secara online. Tapi karena seragamnya sangat general (polo shirt putih, celana panjang hitam/abu dan jumper/cardigan biru), jadi bisa dibeli di toko lain seperti Primark, H&M atau Next, bahkan di supermarket seperti Tesco Superstore juga ada. Untuk sepatu pun tidak ada aturan alias bebas model dan warna apa aja. Simple banget kan sekolah di sini?

    Menunggu hari pertama Arga sekolah perasaanku masih campur aduk: lega, excited, dan sedikit was-was juga. Tapi yang penting Arga sudah dapat sekolah dan kami siap untuk menyambut petualangan barunya.

  • Aku pengen bilang makasih.
    Tapi kali ini bukan ke orang lain, melainkan ke diriku sendiri.

    Terima kasih karena sudah berani keluar dari zona nyaman. Dari Jakarta yang serba tersedia, serba familiar—ke tempat baru yang awalnya terasa asing, penuh adaptasi, dan nggak selalu mudah.

    Sejak kecil, aku tumbuh di rumah yang selalu ada bantuan. Ada yang beresin, ada yang siapin, ada Mama yang selalu jadi tempat sandar. Bukan berarti aku manja, tapi aku memang nggak terbiasa melakukan semuanya sendiri.

    Tapi hidup berubah. Dan aku juga.

    Waktu pindah ke Baubau, lalu lanjut ke tempat yang sekarang, pelan-pelan aku sadar: ternyata aku bisa. Bisa bangun pagi sendiri, masak buat keluarga, beresin rumah, siapin keperluan sekolah Arga, bahkan cari arah di kota asing yang belum aku hafal betul.

    Ternyata aku mampu. Ternyata aku cukup kuat.

    Dan hari ini, aku mau berhenti sejenak… bukan buat mengeluh, tapi buat berterima kasih. Ke diri sendiri—yang nggak nyerah, yang terus belajar, yang pelan-pelan bertumbuh.

    Kadang kita terlalu sibuk bertahan sampai lupa ngasih pelukan buat diri sendiri. Padahal, setiap langkah kecil yang aku lakukan—dari bangun pagi sendiri sampai belajar masak lauk simple—itu semua perlu diapresiasi juga, kan?

    Aku nggak bilang semuanya lancar. Ada kalanya aku lelah. Ada momen aku kangen Jakarta, kangen Mama, kangen jadi ‘anak’ lagi yang tinggal duduk manis dan ditanya, “Mau makan apa?”

    Tapi justru di tempat baru ini, aku menemukan versi diriku yang lain. Yang lebih mandiri, lebih tangguh, dan lebih tau apa yang dia mampu lakukan.

    Jadi ya, thanks to myself.
    Udah mau tetap melangkah walaupun pelan.

    Karena ternyata… aku bisa

    “Ada aku yang dulu menuliskan cerita di buku ini. Ada aku yang hari ini duduk tenang di tepi jendela. Dan ada aku yang terus belajar dari hari ke hari. Terima kasih untuk setiap versi diriku yang sudah membawaku sampai sini”

  • Morning view dari jendela ruang makan kami — “breakfast with a view” banget ngga sih judulnya?

    Waktu pertama kali masuk ke rumah baru, yang terasa bukan haru… tapi pusing. Kamar tidur belum ada kasurnya, dapur masih kosong melompong, sementara di ruang tamu bertumpuk meja dan sofa yang tampak usang. Debu tebal menyelimuti hampir setiap sudut ruangan. Aku sampai bingung mau naruh koper dan tas bawaan kami di mana.

    Kesal? Pasti. Apalagi kondisi kami yang lelah selepas long flight, ditambah jetlag. Rasanya pengen langsung rebahan — tapi sayangnya belum ada tempat yang layak sekadar buat meluruskan badan.

    Untungnya kami sudah kenal beberapa orang Indonesia di sini. Dan bersyukur banget, mereka begitu baik, bahkan meminjamkan barang-barang penting yang kami butuhkan untuk bertahan beberapa hari, sambil pelan-pelan mulai belanja keperluan rumah.

    Kepalaku langsung menghitung-hitung berapa dana yang akan keluar untuk semua kebutuhan dasar. Tentu tak harus lengkap apalagi mewah, yang penting fungsional. Untung ada toko-toko terjangkau seperti B&M, Super Pound World, diskonan IKEA, hingga charity shop British Heart Foundation — yang jadi penyelamat di minggu-minggu awal.

    Hari-hari awal kami sibuk menyulap rumah ini jadi benar-benar rumah. Membuang perabot yang sudah tak layak, membersihkan jendela, menata ulang ruangan. Arga pun semangat ikut membantu, bahkan sibuk memikirkan konsep interior kamarnya sendiri.

    Salah satu sudut rumah yang disulap Arga jadi tempat pajangan lego bikinannya

    Pelan-pelan, rumah ini tak lagi terasa asing.
    Pelan-pelan, rumah ini mulai terasa rumah.
    Bukan karena dindingnya cantik, bukan karena perabotnya lengkap — tapi karena kami bertiga ada di sini. Berbagi tawa, pelukan, dan cerita baru di petualangan kami yang belum selesai.


    Sunrise dari jendela dapur — warna kecil yang nyelip di hari-hari baru
  • Kalau Part 1 kemarin isinya kejutan besar soal mall tutup jam 5 sore dan harga bus yang bikin mikir dua kali, kali ini aku mau cerita tentang hal-hal kecil yang kelihatannya sepele—tapi ternyata cukup bikin aku bergumam: “Oh… beda banget ya di sini.”

    Coin 1p, 2p, 5p, 20p dan £1. Coba liat ukurannya, yang paling besar malah 2p
    1. Koin Segambreng dan Bingungnya Ngitung
      Di awal-awal tinggal di sini, karena belum ngurus rekening bank, aku selalu belanja dengan uang cash yang sudah aku tukar dan bawa dari Indonesia. Dan aku butuh waktu beberapa detik lebih lama tiap kali terima kembalian atau bayar pakai uang koin. Soalnya jenisnya banyak banget! Ada 1p, 2p, 5p, 10p, 20p, 50p, £1, dan £2—dan semuanya beda ukuran, warna, dan berat. Lebih keselnya lagi, ukuran koin 2p malah lebih besar dari 5p, kan jadi bikin tambah bingung. Bisa dikira ngulur waktu nanti pas di kasir 😅
    2. Maghrib Jam 4 Sore?
      Memasuki bulan November, aku beneran shock pas buka jadwal sholat: Maghrib jam 4 sore!
      Sholat 5 waktu di musim gugur dan dingin itu terasa ngebut, karena jaraknya berdekatan banget. Dhuhr jam 12 kurang dikit, Ashar jam setengah 2-an, Maghrib jam 4, lalu jam setengah 6 lewat dikit udah masuk Isya.
      Bener-bener harus pinter bagi waktu, dan jadi reminder juga buat lebih disiplin. Tapi ini juga jadi menyenangkan buat puasa. Subuhnya baru jam 6 pagi, jadi puasa cuma sekitar 10 jam aja deh.
    3. Dunia Per-Telur-an yang Ribet tapi Serius
      Kalo di Indonesia paling kita cuma milih: ayam kampung vs ayam negeri, atau telur biasa vs telur omega. Di sini? Pilihannya banyak banget.
      Ada telur dari ayam free-range, barn, organic, corn-fed, bahkan yang punya sertifikasi animal welfare khusus. Udah dipisah juga sesuai ukuran: medium, large, extra large, tapi ada juga yang mixed-size. Harganya beda-beda bahkan bisa signifikan banget, dan rasanya… yaa mirip-miriplah 😅
      Pertama kali beli telur aku bengong lama banget di depan rak telur. Mencoba meneliti apa beda dari masing-masing telur walaupun ujung-ujungnya tetap ambil yang harganya termurah.
      Tapi aku jadi belajar: orang sini peduli banget sama proses produksi makanan, bukan cuma hasil akhirnya.
    4. Anak Sekolah Pakai Piyama? Iya, Serius!
      Suatu pagi, di kelasnya Arga, aku liat ada anak yang datang ke sekolah masih pakai piyama. Kayaknya baru bangun tidur langsung digotong ayahnya masuk kelas 🤣
      Dan ternyata, itu bukan hal aneh di sini. Banyak keluarga lebih fleksibel soal penampilan anak, apalagi musim dingin. Selama anaknya datang dan happy, semuanya oke. Kalo Arga gimana? Yaa walaupun masih pagi-pagi buta dan dingin banget tetap aku mandiin dan dandanin rapi dengan seragam sekolahnya dong.
    5. Ada Kasur di Pinggir Jalan, Siapa Aja Boleh Ambil
      Kalo di Indonesia ada barang di rumah yang ngga terpakai, biasanya langsung aja disumbangin atau kasih ke pengelolaan barang bekas. Kalo di sini, langsung aja taro di pinggir jalan dan siapapun yang mau boleh ambil. Jadi jangan kaget kalo di pinggir jalan suka ada kasur,  karpet, duvet, sepatu, rak atau meja, bahkan mainan anak-anak. Tak jarang yang kondisinya masih bagus, bolehlah dibawa pulang.
    Karpet, bed, dan kayu lemari yang ditinggalkan di pinggir jalan – malah bikin kesan kumuh karena berhari-hari belum ada yang ambil

    Yang awalnya bikin heran, sekarang malah sering bikin senyum sendiri. Ternyata memang butuh waktu buat ngerti dan nerima bahwa tiap tempat punya cara hidup yang beda, dan nggak semuanya harus “masuk akal” menurut versi kita dulu.


    Adaptasi itu proses. Kadang kita kaget, kadang bingung, tapi pelan-pelan kita belajar buat terbuka, fleksibel, dan nggak buru-buru menghakimi hal baru yang kita temui.


    Dan dari hal-hal kecil kaya gini, aku jadi makin sadar: pindah ke tempat baru itu bukan cuma soal menyesuaikan diri dengan lingkungan… tapi juga tentang mengenali versi baru dari diri sendiri 🤍

  • Pindah ke negara baru bukan cuma soal pindah alamat dan zona waktu. Tapi juga pindah kebiasaan, pindah ekspektasi… dan kadang, pindah logika 😅

    Salah satu momen paling mindblowing adalah saat kami pertama kali pergi ke mall bernama Meadowhall. Lokasinya cukup jauh dari tempat tinggal kami, naik tram sekitar 30 menit. Begitu sampai, kami baru sadar: mall tutup jam 5 sore—dan itu hari Minggu!
    Aku bengong.
    Buat orang Jakarta yang terbiasa ngemall sampai malam, ini sih benar-benar harus ubah kebiasaan.
    Ternyata nggak cuma mall—toko dan supermarket pun rata-rata tutup lebih awal di hari Minggu, sekitar jam 4–5 sore.
    Dan itu baru satu dari sekian banyak culture shock yang pelan-pelan kami temuin.

    Awalnya aku pikir, tinggal di luar negeri pasti lebih hemat soal transportasi karena didukung public transport. Tapi ternyata, di sini harga naik bus sekali jalan £2.60 (sekitar Rp57.000!). Bandingin sama TransJakarta—hei warga Jakarta, bersyukurlah kalian…
    Tapi karena mahalnya transportasi, secara nggak langsung kami jadi lebih sehat karena banyak jalan kaki. Cuma antar-jemput Arga sekolah aja udah pasti tembus 10.000 langkah sehari. Lumayan banget kan, olahraga gratis!

    Buah-buahan yang dijual di Moor Market — Lemon, lime, apel, seplastik cuma £1

    Untungnya, gaya hidup sehat juga didukung sama harga bahan makanan yang cukup ramah di kantong—khususnya buah dan produk dairy.
    Sekotak anggur (bahkan kadang pas promo bisa dapat 2 kotak) cuma £1 begitu juga lemon—bisa dapat seplastik isi 5-6 buah. Bahkan kemarin aku nemu 1 box mangga isi 10 buah cuma £2. Rasanya kayak nemu harta karun di tengah pasar!
    Dan yang bikin aku paling senang: yogurt. Greek yogurt ukuran 500 gram yang di Indonesia bisa seharga 80–100 ribu, di sini cuma £1—setara 20 ribuan rupiah aja. Ini sih shock tapi versi happy.

    10 buah mangga cuma £2, dan ini super duper manis banget semuanya

    Tapi shock berikutnya datang dari… kotak surat.
    Iya, di era digital ini, aku malah makin sering nerima surat fisik. Hampir tiap hari ada aja yang nyelip di pintu: tagihan listrik, info sekolah Arga, update dari NHS (BPJSnya UK), juga billing pembelian tab yang bahkan udah dikirim lewat email, tapi tetap dikirim versi cetaknya. Kapan terakhir kali rumahmu nerima surat beneran? Di sini, budaya pos masih hidup banget.

    Surat-surat fisik yang mulai menumpuk di rumah

    Pelan-pelan, aku belajar kalau culture shock itu bukan cuma tentang hal-hal besar dan dramatis. Tapi juga soal kebiasaan kecil yang berubah diam-diam, bikin kita harus adaptasi setiap hari—meski cuma soal jam buka mall atau harga tiket bus.
    Tapi justru dari situ aku belajar banyak. Belajar sabar, belajar fleksibel, belajar menerima bahwa nggak semua hal harus seperti yang biasa aku kenal.
    Dan ya, walau kadang masih suka heran sendiri, aku mulai bisa kok enjoy tinggal di sini.


    Kalau kamu juga lagi adaptasi di tempat baru, ingat ya, kamu nggak sendirian 🤍

  • Sudah sempat aku cerita soal awal pindahan, tapi memang belum pernah cerita: kenapa sih kami sekeluarga akhirnya pindah ke UK?

    Kebetulan saat lagi ramai tagar #KaburAjaDulu, kami benar-benar ‘kabur’—dengan alasan yang baik, tentu. Di penghujung 2024, datang kabar gembira untuk keluarga kecil kami: Ayah Arga akhirnya lolos sebagai penerima beasiswa LPDP untuk studi PhD.

    Prosesnya nggak instan. Mundur jauh dari timeline awal, dengan usaha berkali-kali yang akhirnya berbuah hasil. Tapi aku percaya, rencana Allah selalu datang di waktu yang paling tepat. Harus pindah ke Baubau dulu sebelumnya mungkin jadi semacam pemanasan bagiku—belajar jauh dari kota kelahiran, belajar mandiri, dan belajar melepas.

    Setelah beasiswa didapat, mulailah fase berikutnya: mencari universitas dan negara tujuan. Kami tentu mempertimbangkan banyak hal, terutama kami memilih kota-kota yang ramah untuk keluarga muda dengan anak kecil seperti Arga.


    Lucunya, nama Sheffield muncul tanpa aku tahu pasti kota seperti apa itu, ya karena memang nggak sefamiliar London atau Manchester. Tapi entah kenapa, begitu dengar nama itu, aku langsung googling sampai akhirnya menemukan buku berjudul ”Sheffield Stories”, kumpulan tulisan orang-orang Indonesia yang pernah tinggal di sana. Padahal belum tentu kami akan ke sana—karena Ayah Arga masih dalam proses seleksi universitas, tapi aku nekat beli bukunya. Mungkin sebagai bentuk sugesti positif, atau mungkin memang ada perasaan ‘klik’ sejak awal.

    Sheffield Stories-Buku panduan mengenal kota Sheffield dan seisinya

    Dan ternyata… Ayah Arga diterima di University of Sheffield. Alhamdulillah…

    Perjalanan pindahan tentu nggak mudah. Apalagi dengan urusan visa yang mengharuskan kami bolak-balik Baubau–Jakarta. Tapi, here we are now. Menjalani hidup baru yang bahkan nggak pernah ada dalam bayanganku setahun yang lalu.

    Kadang keputusan besar datang dari keberanian kecil yang pelan-pelan kita kumpulkan. Terima kasih untuk semua proses—dan untuk diriku sendiri yang mau diajak jalan sejauh ini.”

  • Pesawat Emirates yang membawa kami dari Jakarta ke Dubai

    Kalau ditanya bagian mana yang cukup bikin cemas soal pindahan ini, jawabannya adalah flight belasan jam dengan anak 5 tahun. Walaupun udah sering naik pesawat, tapi durasi terlama Arga di pesawat hanya 3,5 jam. Sedangkan dalam pindahan ini kami akan menghabiskan waktu total hampir 16 jam di pesawat. Bayangan Arga bosan, capek, dan rewel di kabin pesawat bikin aku nyiapin segala kemungkinan. Mulai dari mainan kecil, boneka kesayangannya, buku cerita, dan pastinya cemilan favorit Arga. Semua masuk dalam tasku.

    Tapi ternyata, kekhawatiranku hampir semuanya nggak kejadian. Arga baru mulai nanya terus kapan sampai di kurang dari 1 jam terakhir penerbangan kami.

    Goodie bag untuk anak-anak dan hasil foto polaroid kami

    Kami naik Emirates dengan rute penerbangan Jakarta-Dubai yang ditempuh dalam waktu 8 jam dan dilanjutkan dengan penerbangan Dubai-Manchester dalam waktu 7 jam 45 menit. Kami memiliki waktu transit 4 jam di Dubai International Airport. Dari awal, pengalaman kami dengan Emirates terasa smooth. Staff check-in-nya ramah dan sigap, kabin crew pun sangat ramah dan friendly. Begitu masuk pesawat, Arga langsung takjub karena pesawatnya besar, apalagi flight kedua kami yang kabinnya 2 tingkat. Arga juga excited banget sama layar hiburan pribadi dan goodie bag kecil berisi activity book lengkap dengan pensil warnanya. Kami juga difoto dengan kamera polaroid, jadi kenang-kenangan yang berharga banget nih.

    Pilihan menu untuk flight pertama kami
    Breakfast for Arga
    Breakfast for Mama

    Makanan yang disajikan banyak banget, beraneka ragam dan rasanya enak semua, surprisingly cocok juga buat lidahnya Arga. Dan ya, nonton kartun sambil ngemil di langit itu hiburan ampuh buat anak-anak. Apalagi Emirates punya fasilitas hiburan di pesawat (ICE) yang termasuk terbaik. Lengkap banget deh, mau nonton film atau series, mau dengerin musik, atau mau main games, banyak banget pilihannya.

    Kabin yang luas, nyaman, dengan hiburan yang lengkap

    Kami sampai dengan selamat, capek tentu, tapi melihat Arga happy selama perjalanan rasanya nggak jadi capek deh. Arga malah bilang pengen naik Emirates lagi, ”Suka naik pesawatnya Ma, seru.”

  • Sheffield Town Hall

    Setelah hampir 2 tahun menetap di Baubau dan menikmati kehidupan yang tenang di sana, akhirnya kami memulai babak baru kehidupan keluarga kecil kami: pindah ke UK. Rasanya masih campur aduk—antara excited, overwhelmed, dan sedikit haru ninggalin banyak kenangan di Indonesia.


    Persiapan pindahan itu… luar biasa riweuh. Nggak cuma urusan dokumen, tapi urusan packing barang juga sangat menyita waktu dan pikiran. Apalagi kami mengalami 2x pindahan: dari Baubau kembali ke Jakarta dan dari Jakarta ke Sheffield. Di luar itupun banyak hal yang nggak kepikiran sebelumnya ternyata cukup menguras energi juga. Apalagi urusan mencari tempat tinggal di Sheffield yang ternyata tidak semudah dibayangkan. Sekitar semingguan sebelum keberangkatan ke UK baru akhirnya kami mendapatkan kepastian tempat tinggal.


    Kami berangkat ke UK menjelang akhir September, sudah memasuki musim autumn dan suhu udara mulai dingin di kisaran 10-18°Celcius. Penerbangan kami mendarat dengan mulus di Manchester dan dilanjutkan perjalanan darat ke Sheffield. Sekitar 1,5 jam perjalanan darat kami disuguhkan dengan pemandangan yang tak hentinya membuat terpukau. Dalam kepalaku bertanya-tanya “is this real or just fantasy?” saking masih percaya nggak percaya bisa sampai pindah ke UK.

    Tapi, hari pertama sampai ekspektasi tuh langsung pecah—flat kami masih berantakan, berdebu, bahkan kompor juga belum terpasang. Tapi untungnya kami nggak sendiri. Teman-teman Indo di sini baik-baik banget. Dari pinjemin perlengkapan basic yang kami perlukan, juga bantu info tempat belanja murah.


    Selalu ada yang pertama kali untuk segala sesuatu kan? Mau nggak mau harus belajar lagi dan adaptasi lagi. Belajar pakai kompor listrik yang sungguh menguji kesabaran karena slow banget, ngulik cara masak pakai oven, dan cari tahu nama-nama ikan & sayur yang beda jauh sama di pasar Baubau 😄


    This is just the beginning. Banyak cerita yang pengen aku bagi di sini—semoga bisa jadi catatan perjalanan kami, sekaligus informasi, siapa tau ada yang mau pindah juga ke UK.